“I luv u”
Setiap pagi aku menerima
SMS bernada seperti itu. Kadang berupa gambar yang melambangkan cinta. Bukan
siapa-siapa, karena wanita yang rajin tak pernah absen mengirimiku ungkapan
cinta itu tak lain adalah istriku sendiri. Kemarin kuberitahu dia bahwa
tindakannya itu memalukan, untuk sebuah keluarga yang sudah memiliki dua anak,
tidak usahlah ‘cinta-cinta-an’ seperti halnya orang pacaran atau pengantin
baru. Tapi ia tidak menggubrisnya, bahkan ia semakin sering dengan menambah
rutinitas itu pada setiap sorenya.
Enam setengah bulan
lalu, malah dia melakukan satu seremoni yang bagiku hanyalah buang-buang uang
saja dan tak selayaknya ia melakukan itu. Malam itu sesampainya aku di rumah,
kudapati rumahku hanya diterangi oleh lampu yang remang-remang. Rupanya istriku
mengganti lampu ruangan makan kami, agar terkesan lebih romantis, katanya.
Sementara dua anakku sudah terlelap menikmati mimpinya, kulihat beberapa batang
lilin menyala di atas meja makan yang sudah tersedia hidangan penuh selera
kesukaanku. Dengan gaun malamnya, ia terlihat begitu cantik. Aku baru ingat,
hari itu adalah ulang tahun ketiga pernikahan kami.
Bahkan satu bulan sebelumnya, ia mengajakku keluar bersama anak-anak. Kami makan di sebuah restoran yang cukup bagus. Ia yang membayar semuanya, katanya. Pikirku, dari mana ia mendapatkan uang, toh ia tak bekerja. Akhirnya kuketahui itu uang yang ia sisihkan dari jatah bulanan yang kuberikan. Hanya saja bagiku, sekadar merayakan ulang tahunku tidak perlu repot-repot dan mahal seperti ini. Cukup dengan membeli makanan di pasar dan dimakan bersama-sama, selesai, yang penting kita bersyukur kepada-Nya bahwa kita masih diberikan kekuatan dan kesabaran dalam mengemban amanah-Nya sampai usia kita bertambah hari itu. Yang kuheran, malam sebelumnya tepat pukul 00.01 WIB ketika detik pertama pada tanggal kelahiranku, sebuah kecupan hangat mendarat di keningku. Kubuka perlahan mataku dan kudapatkan senyumannya yang manis. Malam itu ia menghadiahiku sebuah jam tangan yang di dalam bungkus kadonya terdapat sebuah kartu ucapan bertuliskan: “Take My Heart In Your Arm”.
O ya, sekedar
memberitahu, handphone yang kupakai sekarang ini adalah hadiah darinya pada
saat ulangtahun pernikahan kami enam setengah bulan yang lalu itu. Aku sempat
menolaknya, karena handphone-ku sebelumnya juga masih bagus. Dengan sedikit
senyum ia menghulurkan sebungkus kado cantik itu. Di dalamnya, kutemukan
kembali sebuah kartu bertuliskan sebuah pesan (harap) singkat: “Keep In
Touch, Please …”. Lucunya, aku lupa bertanya, bagaimana cara ia mendapatkan
barang semahal itu. Ah mungkin karena aku sedang terkagum-kagum saja
kepada istriku itu, yang membuat aku lupa.
SMS terakhir yang aku
terima pagi ini, masih sama isinya. Namun entah kenapa hari ini aku menitikkan
air mata. Kuperhatikan kembali rangkaian kata-kata dalam pesan itu, padahal
setiap hari aku membacanya. I-L-U-V-U … kuperhatikan satu persatu huruf yang
terangkai singkat itu, namun titik air dari mataku semakin bertambah. Aku jadi
teringat dengan handphone hadiah darinya, teringat dengan makan malam istimewa
nan romantis saat ulang tahun pernikahanku enam setengah bulan yang lalu, jam
tangan hadiah darinya saat ulangtahunku, semua perhatian, cinta dan kasih
sayangnya kepadaku. Ooh …
Tiba-tiba mataku menatap
lingkaran merah di satu tanggal pada kalender mejaku. Di situ tertulis, “Ultah
istriku”. Ya Allah … aku hampir saja lupa kalau besok hari ulang tahunnya.
Sementara hari sudah sore, aku bingung harus menyiapkan hadiah apa untuknya,
padahal uangku sudah habis, tak mungkinlah jika aku meminta kepadanya untuk
membeli hadiah untuknya, jelas nggak surprise.
Akhirnya, aku nekat
menelepon beberapa teman dan karibku, atau siapapun yang bisa kupinjam uangnya.
Aku ingin memberinya sesuatu. Namun, apa daya, tak satupun dari mereka bisa
meminjamkannya karena memang selain mendadak, bukan tanggal yang tepat bagi
siapapun untuk meminjam uang di tanggal tua.
Aku lemas, hari sudah
terlalu malam bagiku untuk mengetuk pintu orang kesekian untuk kupinjami
uangnya. Lagipula toko-toko mulai tutup, kalaupun aku mendapatkan uangnya,
sudah terlambat untuk membeli sesuatu. Langkahku gontai, aku malu jika pulang
tak membawa apa-apa. Aku menyesal, rupanya kesibukan dan sifat egoisku yang
selama ini menutupi semua perhatian dan cinta yang diberikannya, hingga tak
sekalipun aku membalasnya. Sambil berjalan, lalu terbetik
sebuah ide kecil di benakku …
Aku pulang, kudapati
rumahku sudah sepi, istri dan kedua anakku sudah terlelap. Aku tak ingin
membangunkan mereka. Belum juga mataku merapat karena masih membayangkan betapa
menyesalnya aku yang telah mengabaikan perhatian dan kasih sayangnya selama
ini, bahkan tak sepatah kata ‘terima kasih’ pun aku ucapkan untuk semua
cintanya itu. Satu jam kemudian, istriku terbangun untuk menunaikan sholat
malamnya. Biasanya ia membangunkan aku (atau sebaliknya jika aku bangun
terlebih dulu) untuk sholat bersama. Namun ia tak segera, karena kuyakin
matanya langsung menatap setangkai bunga mawar merah yang kuletakkan di samping
bantal tidurnya. Sementara aku masih berpura-pura terlelap, namun mataku
sesekali menangkap senyuman di bibirnya ketika ia membaca kertas kecil yang
kuikatkan di tangkai bunga itu, “Maafkan abang dik, yang telah melupakan
perhatian dan cinta adik. Bunga ini memang tidak akan mampu membalas semua yang
telah adik berikan … with luv …”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon setiap komentar diisikan nama atau alamat email, terimakasih